19 Juni 2015

A Piece of Love : Ketika Cinta Datang Terlambat

c78

Zulfa Rahmatina, seseorang yang berharap bisa terus berkarya dan bermanfaat hingga batas masanya.

APA yang paling indah selain dari dua orang yang saling menguntai kidung doa dalam bingkai rindu yang sama dalam sepertiga malam? Doa itu berpilin-pilin, mengangkasa menjamah langit, dipersatukan mega-mega. Tetapi cinta bukanlah ketergesaan. Seringkali, ia kata yang ditakdirkan, sebagai uji dan penguat iman.

Namanya Adam, tanpa nama belakang. Aku tidak tahu berapa banyak penggemarnya. Yang kutahu, ia adalah lelaki yang romantis dan—terlihat—shaleh. Kedua hal itu bisa dilihat dari betapa lihai ia merangkai aksara-aksara menjadi sebuah kalimat bermakna yang tak jarang membuat hati meleleh khususnya kaum hawa.

Begitu pun aku. Tidak munafik, aku selalu membeli buku-bukunya. Menghirup aroma buku Adam, membaca bait-bait indahnya, selalu mampu membuat dadaku sesak. Aku baru mengenalnya beberapa bulan lalu melalui rekomendasi seorang teman. Dan beberapa bulan terakhir juga aku selalu menunggu update postingan dalam blog pribadinya.

“Elsa, apa kamu sudah memeriksa stok bahan-bahan di dapur?”.

“Hmm,” aku menanggapi ringan pertanyaan Ibu. Seharusnya urusan dapur sudah tidak usah lagi dibicarakan denganku.

Bukankah pekerjaanku sekarang hanya di balik layar? Mengatur pemasukan sekaligus mempromosikan kue-kue cantik produk dari bakery kami yang namanya sudah mulai melejit. Ibu bahkan baru membuka beberapa cabang lagi di kota ini.

“Sudah belum?”.

Lihat, hari ini Adam lagi-lagi menulis kata-kata tentang cinta yang membuat hatiku semakin tersepuh oleh perasaan yang terus menguat ini. Ah, apakah terlalu dini untuk menyebutnya cinta? Tetapi, aku merasa sudah sangat mengenalnya. Dan jika boleh jujur, aku sudah berada di tahap membayangkan jika semua tulisan yang ada di blog Adam itu hanya ditujukan padaku. Gila! Adam benar-benar membuatku gila!.

“Elsa?!”

“Sudah, Bu,” Hah, aku terpaksa berbohong. Nanti-nanti lah, aku bisa menghubungi bagian dapur lewat WhatsApp. Ibu memang orang yang tidak praktis. Benar-benar tipikal orang jaman dahulu. Hei, kenapa aku malah membicarakan Ibu?. 


View the original article here

Tidak ada komentar:

ARSIP BLOG